Kompos merupakan dekomposisi parsial atau tidak lengkap, dipercepat secara artifisial dari campuran bahan-bahan organik oleh pupulasi berbagai macam mikroba dalam konsisi lingkungan yang hangat, lembab, dan aerobik (Crawford, 2003). Menurut Haung (1980), pengomposan dapat dilakukan pada kondisi aerobik dan anaerobik. Pengomposan aerobik adalah dekomposisi bahan organik dengan kehadiran oksigen (udara), dengan produk utamanya adalah karbondioksida, air dan panas. Pengomposan anaerobik adalah dekomposisi bahan organik dalam kondisi ketidakhadiran oksigen bebas.
Penggunaan sampah untuk kesuburan tanah biasa disebut pengomposan. Pengomposan merupakan suatu metode untuk mengkonversikan atau menguraikan bahan-bahan organik menjadi bahan yang lebih sederhana dengan menggunakan jasa aktivitas mikroba. Kompos merupakan dekomposisi parsial atau tidak lengkap, dipercepat secara artifisial dari campuran bahan-bahan organik oleh pupulasi berbagai macam mikroba dalam konsisi lingkungan yang hangat, lembab, dan aerobik. Pada dasarnya semua bahan-bahan organik padat dapat dikomposkan, misalnya: limbah organik rumah tangga, sampah-sampah organik pasar/kota, kertas, kotoran/limbah peternakan, limbah-limbah pertaniah, limbah-limbah agroindustri, limbah pabrik kertas, limbah pabrik gula, limbah pabrik kelapa sawit, dll. Bahan organik yang sulit untuk dikomposkan antara lain: tulang, tanduk, dan rambut (Crawford, 2003).
Proses pengomposan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut dapat berupa faktor fisis, kimia, maupun biologi. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses pengomposan antara lain: (Murbandono, 2002)
a) Bahan baku, yaitu bahan yang digunakan sebagai bahan dasar untuk pembuatan kompos. Pada bahan baku yang lebih lunak akan lebih cepat terurai menjadi kompos daripada yang agak keras.
b) Temperatur/suhu: suhu yang kurang atau berlebih akan menyebabkan bakteri pengurai tidak bisa berkembang dengan baik sehingga proses pengomposan juga akan semakin lama.
c) pH: semakin tinggi kadar pH maka akan semakin cepat proses pengomposan
d) Air dan udara: kalau air kurang maka bahan akan bercendawan, dan kalau kelebiahan air akan menyebabkan keadaan menjadi anaerob.
e) Kelembapan: Kelembaban yang tinggi akan menyebabkan volume udara menjadi berkurang, timbunan yang semakin basah maka harus sering diaduk.
f) Rasio C/N: semakin mendekati rasio C/N tanah maka bahan tersebut akan lebih cepat menjadi kompos.
g) Ukuran Partikel: Semakin besar ukuran partikel maka akan semakin lama proses pengomposan atau sebaliknya.
h) Kandungan Nitrogen: Semakin banyak kandungan N, bahan baku akan semakin cepat terurai.
Usaha peternakan sapi perah, dengan skala lebih besar dari 20 ekor dan relatif terlokalisasi akan menimbulkan masalah terhadap lingkungan (SK.Mentan. No.237/Kpts/RC410/1991 tentang batasan usaha peternakan yang harus melakukan evaluasi lingkungan). Populasi sapi perah di Indonesia terus meningkat dari 334.371 ekor pada tahun 1997 menjadi 368.490 ekor pada tahun 2001 dan limbah yang dihasilkan pun akan semakin banyak (BPS, 2001). Satu ekor sapi dengan bobot badan 400–500 kg dapat menghasilkan limbah padat dan cair sebesar 27,5-30 kg/ekor/hari.
Limbah peternakan umumnya meliputi semua kotoran yang dihasilkan dari suatu kegiatan usaha peternakan, baik berupa limbah padat dan cairan, gas, ataupun sisa pakan (Soehadji, 1992). Ditambahkan oleh Soehadji (1992), limbah peternakan adalah semua buangan dari usaha peternakan yang bersifat padat, cair dan gas. Limbah padat merupakan semua limbah yang berbentuk padatan atau dalam fase padat (kotoran ternak, ternak yang mati atau isi perut dari pemotongan ternak). Limbah cair adalah semua limbah yang berbentuk cairan atau berada dalam fase cair (air seni atau urine, air pencucian alat-alat). Sedangkan limbah gas adalah semua limbah yang berbentuk gas atau berada dalam fase gas.
Dalam pengomposan digunakan berbagai bahan. Bahan baku yang digunakan adalah limbah organik pertanian atau peternakan 83 % misalnya dari kotoran ternak dan sampah kota; serbuk gergaji (kayu yang lunak) 5%; abu (bekas pembakaran bahan organic) 10%; kalsit atau dolomit 2%; dan stardec 0,25%.
Limbah organic, serbuk gergaji, abu, kalsit/dolomite dn stardec dicampur hingga homogen pada tempat yang ternaungi dengan ketinggian minimum 1,5 meter. Pada tumpukan tersebut kemudian dilakukan aerasi dengan cara pembalikan / penyisiran yang dilakukan 7 hari sekali sebanyak 4 kali. Pada proses pembalikan harus benar-benar dibalik dimana bahan yang di bagian dalam harus terangkat menjadi yang paling atas sehingga proses pengomposan berjalan dengan baik. Selama proses, kadar air dijaga ±60%. Suhu juga perlu dijaga dan diharapkan sampai suhu 700C selama minimal 2 minggu. Proses penguraian atau dekomposisi akan berhenti secara alami, ditandai dengan adanya penurunan suhu menjadi ±300C dan kadar air ±40%. Jika keadaan ini tercapai maka akan dihasilkan pupuk organic berkualitas dan berdaya guna seperti biasanya yang disebut Fine compost.
Setelah proses pembalikan pertama kemudian didiamkan lagi selama satu minggu, selanjutnya dilakukan pembalikan kedua. Didiamkan lagi selama 7 hari lalu dilakukan pembalikan ketiga. Proses tersebut diulang lagi yaitu didiamkan selama 7 hari kemudian dilakukan pembalikan keempat. Total pembalikan yang dilakukan adalah adalah 4 kali. Jika ditambahkan dengan pada pembalikan pertama maka dibutuhkan waktu selama 35 hari.
Jika proses tersebut telah dilakukan dengan baik dan benar, maka selanjutnya sudah diperoleh kompos yang masih terdiri dari yang berukuran besar dan kecil. Kompos yang sudah jadi akan terlihat berwarna coklat kehitaman, suhunya turun sampai suhu ±300C atau mendekati suh ruang, bau kotoran ternak hilang dan berbau tanah, teksturnya remah, dan kadar airnya sekitar 40%. Pada kompos yang sudah jadi tersebut, disaring dengan menggunakan penyaring sehingga terpisah antara yang besar dan kecil. Bahan yang kecil digunakan sebagai kompos sedangkan yang besar akan diproses lagi pada suatu mesin Granulator sehingga menjadi granul. Kompos dan granul ini akan dijual ke masyarakat dan juga dibagikan ke petani. Sedangkan petani tersebut akan memberikan jerami ke LHM sehingga keduanya saling menguntungkan.
Proses pengomposan yang diterapkan di Lembah Hijau Multifarm sesuai dengan proses remidiasi pada umumnya. Kegiatan yang dilakukan adalah dengan pemisahan sampah, memperkecil ukuran sampah agar meningkatkan luas permukaan untu proses penguraian oleh mikroorganisme yang berperan dan adanya pengaturan aerasi dengan cara membolak-balik kompos setiap hari (pengomposan berlangsung secara anaerob). Pada awal pengomposan juga terjadi peningkatan suhu kompos yang menandakan adanya peningkatan aktivitas mikroorganisme di dalam kompos dalam mendegradasi sampah. Jadi, dapat dikatakan hal tersebut telah sesuai dengan teori pengomposan yang ada.
Mikroorganisme yang berperan di dalam pengomposan yang diterapkan di Lembah Hijau Multifarm berasal langsung dari sampah yang ada. Bisa dimungkinkan jika saja ada perlakuan penambahan EM pada pengomposan tersebut, proses pengomposan dapat berjalan lebih cepat (bisa lebih cepat dari 1 bulan). Selain tidak adanya penambahan EM, di Lembah Hijau Multifarm tersebut tidak ada pengukuran nisbah C/N yang merupakan salah satu faktor penentu di dalam keberhasilan pembuatan kompos dan pemantauan kondisi pengomposan secara pasti (seperti suhu, kelembaban, dan pH), sehingga bisa saja kualitas kompos yang diproduksi tidak stabil. Oleh karena itu, sangat dirasa perlu adanya teknik pengomposan yang lebih intensif agar kualitas kompos yang dibuat dapat stabil dan terjamin kualitasnya.
Keragaan analisis ekonomi dari masing-masing usahatani yang dilakukan dalam sistem usahatani terpadu di CV. LHM tersaji dalam Tabel 1. Analisis ekonomi tersebut memberikan keuntungan yang cukup signifikan, karena mempunyai B/C ratio yang lebih besar dari satu. B/C Ratio terkecil diperoleh pada usaha budidaya padi sawah yang berarti keuntungan yang diperoleh dari usaha ini relatif kecil, jika dibandingkan dengan usaha lainnya. Tetapi hal ini dapat ditutupi dari keuntungan yang diperoleh dari usaha lainnya, yang keuntungannya relatif lebih besar. Sedangkan B/C ratio terbesar diperoleh pada usaha pembuatan starbio yang berarti keuntungan yang diperoleh dari usaha ini relatif besar, jika dibandingkan dengan usaha lainnya, ini dapat digunakan untuk menambah keuntungan usaha lainnya yang relatif kecil. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Sudaryanto dan Jamal (2000) yang menyebutkan bahwa penggunaan sumber daya pertanian yang optimum lebih mudah dicapai melalui diversifikasi cabang-cabang usahatani yang dilaksanakan secara terpadu.